Ads 468x60px

Friday, August 16, 2013

0
Kontroversi Perubahan Gelar Sarjana Syariah

Pergantian gelar yang berdasarkan Surat Keputusan Kementrian Agama RI Nomor 36 tahun 2009, tentang penetapan pembidangan ilmu dan gelar akademik di lingkungan perguruan tinggi agama, menimbulkan kontroversi.

Salah satu penolakan ini muncul dari mahasiswa dan dosen yang mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Pergantian gelar dari S.Hi (Sarjana Hukum Islam) menjadi S.Sy (Sarjana Syariah) membuat dosen dan mahasiswa risih. Mereka takut gelar yang baru ini menimbulkan polemik ketika lulus nantinya, walaupun pergantian gelar ini sudah dilaksanakan pada wisuda kemarin.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Hendi Suhendi mengakui tidak mengetahui alasan maupun tujuan dari pergantian gelar ini. “Pergantian gelar ini berdasarkan SK  dari menteri agama. Tujuan dan alasannya hanya menteri agama yang tahu,” ujar Hendi saat ditemui di ruangannya, Jum’at (30/4).

Menurut Hendi, pergantian gelar ini seharusnya tidak terjadi. Ia mengatakan, yang harus diganti adalah perubahan ulang terhadap sistem yang ada. Hingga saat ini, pihak Fakultas Syariah dan mahasiswa sedang mengusahakan untuk mengembalikan gelar yang lama.


Kecemasan mengenai pergantian gelar ini ditunjukan Alin Novina mahasiswi semester dua Jurusan Manajemen. “Gelar itu seharusnya sesuai dengan jurusannya, karena menentukan kita kedepannya nanti. Saya setuju aja kalo misalkan jurusan menejemen bergelar S.Sy asal sesuai dengan pengkajian yang tepat, karena setelah lulus kita harus bisa mempertanggungjawabkan kepada masyrakat,” tegas Alin Novina.

Menurut Ahmad Hidayat, mahasiswa Hukum Pidana Islam,  S.Sy belum dikenal oleh masyarakat, sehingga ada ketakutan bahwa masyarakat tidak bisa menerimanya. Karenanya, ia merasa dirugikan dengan pergantian gelar tersebut.

Senada dengan Ahmad, Neng Fitri, Mahasiswa Ilmu Hukum menyatakan gelar itu belum tentu diterima di masyarakat. “Kalau melihat senior UIN yang gelarnya masih S.HI saja susah cari kerja, apalagi jika diganti menjadi S.Sy.”

Menurut Agnel Fedrianto, sarjana-sarjana hukum syariah terhambat karena tingginya persaingan baik di tingkat pegawai negeri, atau di Depag. Persaingan yang sangat ketat dan dominasi  yang ada adalah Sarjana Hukum, “Sudah 10 tahun berjalan, gelar yang dimiliki sarjana syariah saat ini (S.HI, red-) tidak mendominasi atau memberikan trackrecord yang bagus. Selama 10 tahun tapi belum ada perubahan, tidak ada peningkatan yang signifikan. S.HI aja belum terfasilitasi dengan baik, sudah diganti dengan S.Sy. Nah ini yang jadi pertanyaan. Mau dibawa kemana kita ini sarjana-sarjana syariah? Sarjana Syariah ini mau dijadikan apa?” lanjut mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum ini.

Dalam berita yang dilansir www.uinsgd.ac.id, Pembantu Dekan III Fakultas Syari’ah dan Hukum Ayi Sofyan mengatakan bahwa perubahan gelar itu adalah mutlak. “Perubahan adalah mutlak terjadi di atas dunia termasuk kehidupan akademis. Dalam kehidupan akademis terdapat perubahan gelar yang menjadi salah satu kebutuhan, misalnya dulu dengan gelar Doktorandus (Drs) diganti menjadi Sarjana Agama (S.Ag), kemudian ‘S.Ag’ diganti dengan Sarjana Hukum Islam (S.HI) dan sekarang diganti lagi dengan Sarjana Syari’ah (S.Sy). Sebagian orang terperanjat dengan perubahan gelar tersebut, walaupun sebetulnya sudah diwacanakan sejak tahun lalu dan dekan-dekan pun sudah mengetahuinya. Hal tersebut ada kaitannya dengan kebijakan, oleh karena itu barangkali kita dapat bertanya kepada Pak Nurul Huda Kasubbag Akademik PTA Depag”, ujar Ayi.

Isu perubahan ini berembus pula di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Namun, berbeda dengan Fakultas Syariah, pergantian gelar di Tarbiyah sebenarnya tidak ada dan langsung dibantah oleh Drs. Afifudin selaku Dekan Tarbiyah. “Tidak ada pergantian gelar dan kita juga tidak mengusulkan pergantian gelar itu.” Afifudin menyatakan, meski dahulu memang pernah ada perubahan gelar dari S.Ag menjadi S.Pd.i dan untuk jurusan umum menjadi S.Pd, namun hal ini bertujuan agar lebih spesifik pada jurusan agama dan tidak menjadi umum untuk jurusan lain. “Seandainya terjadi pergantian gelar, kami dari Fakultas Tarbiyah akan mempertimbangkannya lagi,” tambahnya saat diminta konfirmasi di ruangannya, Kamis (6/5).

Terlalu seringnya ada pergantian gelar membingungkan banyak pihak. Ketua Jurusan Ilmu Hukum Nandang Najmudin mengungkapkan bahwa pergantian gelar yang terlalu sering merupakan bentuk ketidak konsistenan pemerintah. “Untuk mengenalkan kepada masyarakat ini butuh waktu yang lama,” ungkapya. Ia menganalogikan gelar dengan produk baru yang harus diiklankan. “Biaya iklan itu mahal, seharusnya jangan diubah-ubah!” lanjut ketua Jurusan Ilmu Hukum ini.

Lain halnya dengan Uwes Fatoni, Sekertaris Pribadi Pembantu Rektor I ketika ditemui diruangannya, Dia menyebutkan bahwa tidak ada masalah dengan adanya pergantian gelar ini, demi merubah ke arah yang lebih baik. Mengenai bagaimana nasib para sarjana-sarjana UIN ini jika telah lulus, dia menjelaskan, “Ketika para sarjana turun ke masyarakat bukan gelar yang dilihat, namun kemampuan yang patut dihargai.”

Tidak hanya di UIN Bandung, perubahan gelar akademik juga terjadi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengenai perubahan gelar dan perubahan nama Prodi, khususnya di Fakultas Dakwah.
Perubahan itu yakni Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) menjadi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) dan gelar akademik bagi lulusan sarjanah dakwah berubah dari Sarjana Sosial Islam (S.Sos.i) menjadi Sarjanah Komunikasi Islam (S.Kom.i). Meski mahasiswa  Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) menyambut senang dengan gelar baru ini, namun di sisi lain, mahasiswa jurusan MD, BKI, dan PMI merasa perubahan ini kurang relevan.

Prof.Dr.HM Bahri Ghazali,MA selaku pihak Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menuturkan perubahan gelar akademik itu perlu dilihat secara maknawiah. Misalnya, BKI sebagai komunikasi personal, PMI sebagai komunikasi pembangunan dan MD yang jelas dasarnya adalah dakwah, dimana makna dasar dari dakwah itu sendiri jelas komunikasi Islam.

“Maka dengan penetapan kebijakan mentri agama dalam mengeluarkan SK tersebut saya pikir relevan karena memang makna dakwah secara umum adalah komunikasi islam yakni penyampaian pesan.”
Bahri menjelaskan, yang membedakan dengan title lalu yakni rumpun ilmu yang dulu terlalu umum dan rimbun, sedangkan yang saat ini lebih khusus lagi atau lebih ramping dalam artian langsung menembak pada satu bidang.

Menurut Bahri, untuk mendukung gelar tersebut sebenarnya secara nasional namaFakultas Dakwah dan Komunikasi sudah digunakan di beberapa UIN di Indonesia seperti UIN Bandung, UIN Jakarta, UIN Pekan Baru dan UIN Ujung Pandang. Hanya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masih menggunakan nama Fakultas Dakwah. “Semestinya nama fakultas kita sudah menjadi Dakwah dan Komunikasi, apalagi ditopang oleh Surat Keputusan Menteri Agama nomor 36 tahun 2009 ini yang sah,” tambahnya mantap.

“Semestinya perubahan gelar ini sudah berlaku sejak tahun 2010 karena keputusan menteri agama ini telah dikeluarkan pada tahun 2009. Namun untuk saat ini kita belum bisa mengatakan tahun 2010 ini positif dapat digunakan, kita akan mencoba senatkan, dalam artian payung hukum sudah ada namun secara legal atau formal kita perlu melewati badan normatif yang disebut senat fakultas,” tandasnya.
Terhadap perubahan gelar tersebut Bahri berharap lulusan sarjanah dakwah ini mampu bersaing di pasaran dunia kerja. ”Otomatis tidak hanya di Departemen Agama (Depag), tapi juga masuk di lembaga-lembaga komunikasi dan di Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang membawahi pemda-pemda, dimana humas dibutuhkan disana. Saya kira dipasaran dengan adanya perubahan gelar itu menjadi peluang untuk kedepan,” tuturnya menutup pembicaraan.

0 comments:

Post a Comment

 
Turut Mencerdaskan Anak Bangsa | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog | Tested by Blogger Templates | Best Credit Cards