Pergantian gelar yang berdasarkan Surat
Keputusan Kementrian Agama RI Nomor 36 tahun 2009, tentang penetapan
pembidangan ilmu dan gelar akademik di lingkungan perguruan tinggi agama,
menimbulkan kontroversi.
Salah satu penolakan ini muncul dari
mahasiswa dan dosen yang mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Pergantian gelar dari S.Hi
(Sarjana Hukum Islam) menjadi S.Sy (Sarjana Syariah) membuat dosen dan
mahasiswa risih. Mereka takut gelar yang baru ini menimbulkan polemik ketika
lulus nantinya, walaupun pergantian gelar ini sudah dilaksanakan pada wisuda
kemarin.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Hendi
Suhendi mengakui tidak mengetahui alasan maupun tujuan dari pergantian gelar
ini. “Pergantian gelar ini berdasarkan SK dari menteri agama. Tujuan dan
alasannya hanya menteri agama yang tahu,” ujar Hendi saat ditemui di
ruangannya, Jum’at (30/4).
Menurut Hendi, pergantian gelar ini
seharusnya tidak terjadi. Ia mengatakan, yang harus diganti adalah perubahan
ulang terhadap sistem yang ada. Hingga saat ini, pihak Fakultas Syariah dan
mahasiswa sedang mengusahakan untuk mengembalikan gelar yang lama.
Kecemasan mengenai pergantian gelar ini
ditunjukan Alin Novina mahasiswi semester dua Jurusan Manajemen. “Gelar itu
seharusnya sesuai dengan jurusannya, karena menentukan kita kedepannya nanti.
Saya setuju aja kalo misalkan jurusan menejemen bergelar S.Sy asal sesuai
dengan pengkajian yang tepat, karena setelah lulus kita harus bisa
mempertanggungjawabkan kepada masyrakat,” tegas Alin Novina.
Menurut Ahmad Hidayat, mahasiswa Hukum
Pidana Islam, S.Sy belum dikenal oleh masyarakat, sehingga ada ketakutan
bahwa masyarakat tidak bisa menerimanya. Karenanya, ia merasa dirugikan dengan
pergantian gelar tersebut.
Senada dengan Ahmad, Neng Fitri,
Mahasiswa Ilmu Hukum menyatakan gelar itu belum tentu diterima di masyarakat.
“Kalau melihat senior UIN yang gelarnya masih S.HI saja susah cari kerja,
apalagi jika diganti menjadi S.Sy.”
Menurut Agnel Fedrianto, sarjana-sarjana
hukum syariah terhambat karena tingginya persaingan baik di tingkat pegawai
negeri, atau di Depag. Persaingan yang sangat ketat dan dominasi yang ada
adalah Sarjana Hukum, “Sudah 10 tahun berjalan, gelar yang dimiliki sarjana
syariah saat ini (S.HI, red-) tidak mendominasi atau memberikan trackrecord yang bagus. Selama 10 tahun tapi belum
ada perubahan, tidak ada peningkatan yang signifikan. S.HI aja belum
terfasilitasi dengan baik, sudah diganti dengan S.Sy. Nah ini yang jadi
pertanyaan. Mau dibawa kemana kita ini sarjana-sarjana syariah? Sarjana Syariah
ini mau dijadikan apa?” lanjut mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum ini.
Dalam berita yang dilansir www.uinsgd.ac.id, Pembantu Dekan III Fakultas Syari’ah
dan Hukum Ayi Sofyan mengatakan bahwa perubahan gelar itu adalah mutlak.
“Perubahan adalah mutlak terjadi di atas dunia termasuk kehidupan akademis.
Dalam kehidupan akademis terdapat perubahan gelar yang menjadi salah satu
kebutuhan, misalnya dulu dengan gelar Doktorandus (Drs) diganti menjadi Sarjana
Agama (S.Ag), kemudian ‘S.Ag’ diganti dengan Sarjana Hukum Islam (S.HI) dan
sekarang diganti lagi dengan Sarjana Syari’ah (S.Sy). Sebagian orang
terperanjat dengan perubahan gelar tersebut, walaupun sebetulnya sudah
diwacanakan sejak tahun lalu dan dekan-dekan pun sudah mengetahuinya. Hal
tersebut ada kaitannya dengan kebijakan, oleh karena itu barangkali kita dapat
bertanya kepada Pak Nurul Huda Kasubbag Akademik PTA Depag”, ujar Ayi.
Isu perubahan ini berembus pula di
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Namun, berbeda dengan Fakultas Syariah,
pergantian gelar di Tarbiyah sebenarnya tidak ada dan langsung dibantah oleh
Drs. Afifudin selaku Dekan Tarbiyah. “Tidak ada pergantian gelar dan kita juga
tidak mengusulkan pergantian gelar itu.” Afifudin menyatakan, meski dahulu memang
pernah ada perubahan gelar dari S.Ag menjadi S.Pd.i dan untuk jurusan umum
menjadi S.Pd, namun hal ini bertujuan agar lebih spesifik pada jurusan agama
dan tidak menjadi umum untuk jurusan lain. “Seandainya terjadi pergantian
gelar, kami dari Fakultas Tarbiyah akan mempertimbangkannya lagi,” tambahnya
saat diminta konfirmasi di ruangannya, Kamis (6/5).
Terlalu seringnya ada pergantian gelar membingungkan banyak pihak. Ketua
Jurusan Ilmu Hukum Nandang Najmudin mengungkapkan bahwa pergantian gelar yang
terlalu sering merupakan bentuk ketidak konsistenan pemerintah. “Untuk
mengenalkan kepada masyarakat ini butuh waktu yang lama,” ungkapya. Ia
menganalogikan gelar dengan produk baru yang harus diiklankan. “Biaya iklan itu
mahal, seharusnya jangan diubah-ubah!” lanjut ketua Jurusan Ilmu Hukum ini.
Lain halnya dengan Uwes Fatoni,
Sekertaris Pribadi Pembantu Rektor I ketika ditemui diruangannya, Dia
menyebutkan bahwa tidak ada masalah dengan adanya pergantian gelar ini, demi
merubah ke arah yang lebih baik. Mengenai bagaimana nasib para sarjana-sarjana
UIN ini jika telah lulus, dia menjelaskan, “Ketika para sarjana turun ke
masyarakat bukan gelar yang dilihat, namun kemampuan yang patut dihargai.”
Tidak hanya di UIN Bandung, perubahan
gelar akademik juga terjadi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengenai perubahan
gelar dan perubahan nama Prodi, khususnya di Fakultas Dakwah.
Perubahan itu yakni Program Studi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) menjadi Bimbingan dan Konseling Islam
(BKI) dan gelar akademik bagi lulusan sarjanah dakwah berubah dari Sarjana
Sosial Islam (S.Sos.i) menjadi Sarjanah Komunikasi Islam (S.Kom.i). Meski
mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) menyambut senang dengan gelar
baru ini, namun di sisi lain, mahasiswa jurusan MD, BKI, dan PMI merasa
perubahan ini kurang relevan.
Prof.Dr.HM Bahri Ghazali,MA selaku pihak
Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menuturkan perubahan gelar
akademik itu perlu dilihat secara maknawiah. Misalnya, BKI sebagai komunikasi
personal, PMI sebagai komunikasi pembangunan dan MD yang jelas dasarnya adalah
dakwah, dimana makna dasar dari dakwah itu sendiri jelas komunikasi Islam.
“Maka dengan penetapan kebijakan mentri
agama dalam mengeluarkan SK tersebut saya pikir relevan karena memang makna
dakwah secara umum adalah komunikasi islam yakni penyampaian pesan.”
Bahri menjelaskan, yang membedakan
dengan title lalu yakni rumpun ilmu yang dulu terlalu umum dan rimbun,
sedangkan yang saat ini lebih khusus lagi atau lebih ramping dalam artian
langsung menembak pada satu bidang.
Menurut Bahri, untuk mendukung gelar
tersebut sebenarnya secara nasional namaFakultas Dakwah
dan Komunikasi sudah digunakan di beberapa UIN di
Indonesia seperti UIN Bandung, UIN Jakarta, UIN Pekan Baru dan UIN Ujung
Pandang. Hanya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masih menggunakan nama Fakultas Dakwah. “Semestinya nama fakultas kita
sudah menjadi Dakwah dan Komunikasi, apalagi ditopang oleh Surat Keputusan
Menteri Agama nomor 36 tahun 2009 ini yang sah,” tambahnya mantap.
“Semestinya perubahan gelar ini sudah
berlaku sejak tahun 2010 karena keputusan menteri agama ini telah dikeluarkan
pada tahun 2009. Namun untuk saat ini kita belum bisa mengatakan tahun 2010 ini
positif dapat digunakan, kita akan mencoba senatkan, dalam artian payung hukum
sudah ada namun secara legal atau formal kita perlu melewati badan normatif
yang disebut senat fakultas,” tandasnya.
Terhadap perubahan gelar tersebut Bahri berharap lulusan sarjanah dakwah
ini mampu bersaing di pasaran dunia kerja. ”Otomatis tidak hanya di Departemen
Agama (Depag), tapi juga masuk di lembaga-lembaga komunikasi dan di Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) yang membawahi pemda-pemda, dimana humas dibutuhkan
disana. Saya kira dipasaran dengan adanya perubahan gelar itu menjadi peluang
untuk kedepan,” tuturnya menutup pembicaraan.
0 comments:
Post a Comment